Oleh: Syafinuddin Al-Mandari
(Ketua Umum PB HMI 2001-2003)
(www.mediaonetimor.co) – Dalam sejarah panjang kekristenan, ada momentum-momentum yang terasa bukan hanya sakral, melainkan juga sangat simbolik, seolah langit dan bumi berdialog dalam senyap.
Wafatnya Paus Fransiskus pada hari raya Paskah bukan sekadar peristiwa duka, tapi juga sebuah pesan spiritual yang kuat: bahwa ia, Sang Gembala Utama Gereja Katolik, telah menyelesaikan tugas sucinya dalam menuntun umat kepada fajar kebangkitan, dan kini tiba gilirannya untuk pulang kepada Tuhan yang ia cintai seumur hidupnya.
Paskah adalah pusat dari iman Kristiani, hari ketika umat percaya merayakan kebangkitan Yesus dari kematian—simbol kemenangan kasih atas dosa, harapan atas keputusasaan. Di hari itulah, Paus Fransiskus mengakhiri perziarahan duniawinya. Bukan sebelum, bukan sesudah, melainkan tepat saat dunia Kristiani merayakan hidup baru. Sebuah penutup yang agung, seolah Paus menjadi penanda hidup: ia datang untuk menghidupi Injil, dan pulang setelah memastikan umat menyambut terang kebangkitan.
Sebagai seorang pemimpin Gereja, Paus Fransiskus tidak hanya membawa reformasi struktural dan doktrinal, tetapi juga membumikan Injil dalam narasi-narasi kemanusiaan yang universal. Dari langkah-langkah kecilnya menyapa para migran, mengunjungi narapidana, memeluk kaum terlupakan, hingga pesannya tentang bumi sebagai rumah bersama umat manusia—semuanya menegaskan bahwa iman tidak pernah jauh dari kemanusiaan. Dalam pidato-pidatonya, Paus sering mengutip Santo Fransiskus dari Assisi, pelindungnya, sebagai simbol kesederhanaan dan kasih kepada semua makhluk. Dan seperti Santo itu, Paus Fransiskus memilih hidup bersahaja di tengah istana Vatikan.
Wafatnya di hari Paskah bukan sekadar kebetulan. Seperti kata teolog Hans Urs von Balthasar, “Kekudusan adalah keindahan yang tak dapat disangkal, dan hidup yang dilayani oleh kasih akan menemukan waktunya sendiri untuk berpulang.” Maka ketika Paus wafat tepat di hari raya kebangkitan, kita seperti diingatkan bahwa hidupnya adalah pelayanan kasih yang paripurna. Ia tidak mati dalam kekalahan, tapi dalam kemenangan iman.
Tokoh Muslim seperti Fazlur Rahman pernah menyatakan bahwa “agama yang besar adalah yang mampu melahirkan keinsafan etis yang melintasi batas sektarian.” Paus Fransiskus, dalam berbagai seruannya, telah menunjukkan bagaimana kasih dapat menjangkau lintas batas agama, ras, dan bangsa. Ia membuka pintu-pintu dialog antariman bukan dengan kecemasan teologis, tetapi dengan keberanian moral dan kelembutan spiritual. Ia lebih memilih menjembatani daripada membatasi.
Sosiolog Zygmunt Bauman menulis tentang “moralitas sebagai tanggapan kita terhadap kehadiran sesama.” Dalam semangat ini, Paus Fransiskus menghidupi imannya sebagai moralitas yang menjawab penderitaan dunia. Dan kini, di hari ketika umat Kristen di seluruh dunia berseru “Kristus telah bangkit!”, Paus memilih untuk diam, menanggalkan jubah duniawinya, dan mengikuti Tuhannya—dengan tubuh yang wafat, tetapi warisan yang hidup.
Kematian Paus Fransiskus bukan hanya penutup sebuah kepemimpinan. Ia adalah pesan transenden tentang bagaimana hidup yang dijalani dalam cinta akan berakhir dalam cahaya. Seolah ia berkata kepada dunia: “Aku telah menyertai kalian hingga Paskah, kini biarkan aku pulang.”
Selamat jalan, Paus Fransiskus. Engkau telah menyala bagi dunia. Kini biarkan terang Paskah menyambutmu pulang.#RIP#pausfransiskus(Asesu Youtube–https://www.youtube.com/@Media1Timor/Facebook- https://www.facebook.com/Media1Timor/Iha moos Kursu Jornalizmu no Lian Inglesh)
Discussion about this post