Di Tulis Oleh Ansel Deri
Orang udik dari kampung
Pernah ke Dili, Timor Timur (kini, Timor Leste
Jakarta, 3 Februari 2025 (www.mediaonetimor.co) – NAIK mobil dari Kabupaten Atambua ke Dili. Di Dili, kota Provinsi Timor Timur berjarak sepelemparan batu dari Atambua, kota Kabupaten Belu, tapal batas Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Yani, sahabat saya bilang Dili sonde (tidak-Red) jauh dari Atambua. Oto (bemo/mikrolet) fuit (kencang) masuk sebentar lalu segera menyentuh Dili, kota provinsi di ujung Timur Timor. Saya lolos kumpul uang untuk sama-sama patungan rekan-rekan yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kelurahan Manumutin, Kecamatan Kota Atambua, tahun 1997.
Uang itu saya kumpul beberapa kali dari wesel yang dikirim SKM DIAN di Ende, Flores setelah berita singkat pertemuan dengan Bupati Belu awal masuk Atambua, dikirim lewat kantor Pos Atambua. “Siapa tahu saat di Dili bisa ketemu Bapa Uskup Belo (77). Pulang Kupang usai KKN bisa ada cerita. Atau pulang ke Lembata bisa beritahu orang tua kalau pegang tangan dan minta berkat Bapa Uskup Belo,” kata Yani.
Bapa Uskup Belo yang dimaksud adalah Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo. Mgr Belo adalah Uskup Dioses Dili yang terkenal dengan pernyataan yang laris manis kalau masuk koran. Nama Mgr. Belo familiar di DIAN, koran mingguan milik SVD Ende. Liputan Ansel Sahan atau Philipus Suri dengan narasumber Uskup Belo menyita mata saya menghabiskan berita terkait.
Mgr Belo. Itulah alasan mengapa saya berdoa dan berharap di Dili bisa ketemu sang Uskup. Turun dari kaki Patung Christo Rei, bemo yang kami tumpangi akan bergerak ke kantor Gubernur Timor Timur dan Lapangan Tasitolu. Dua tempat ini menjadi referensi sejak dari Atambua. Mengunjungi kantor gubernur dan Tasitolu terasa lengkap mengoleksi dua destinasi wisata sejarah bumi Loro Sae (negeri matahari terbit). “Kita mampir di Pemakaman Santa Cruz dulu sebelum ke kantor gubernur dan Tasitolu. Nanti kita lanjut ke gereja Motaael (?). Siapa tahu ketemu Bapa Uskup Belo,” kata saya ke om Bai, supir yang bawa mikrolet. Nihil.
Suasana perjumpaan dengan beberapa warga Dili agak berbeda. Kadang pertanyaan, ” kamu dari Kupan?” atau “engkau dari Larantuka?” muncul dari beberapa warga Dili. Begitu pula saat hendak memasuki kawasan pemakaman Santa Cruz, pertanyaan muncul. Setiap pengunjung baru seolah diwaspadai.
Pikiran saya selalu terpusat pada orangtua Martinus Lagawurin Botoor, salah seorang prajurit TNI AD yang gugur dalam pertempuran melawan pejuang pro kemerdekaan Timor Timur yang meroketkan nama Xanana Gusmão sebagai gerilyawan yang konon punya leu leu (jimat) sakti.
Tapi, kerinduan bertemu Uskup Belo menjulang. Maklum. Uskup Belo salah seorang pemimpin gereja lokal yang sangat dihormati seperti juga Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa, uskup kami kala itu.
Saat senja mengantar kami meninggalkan Tasitolu, saya memendam rasa gagal berjumpa Uskup Belo. Memang tak mudah bertemu tokoh gereja itu di tengah situasi krusial menjelang kemerdekaan Timor Timur.
Gagal? Tidak. Waktu mempertemukan kami di salah satu sudut Jakarta. Suatu waktu diajak teman menghadiri diskusi buku karya Peter Tukan berjudul ‘Rekonsiliasi yang Tidak Tuntas, Duri Kemerdekaan Timor Timur”. Peter Tukan sebelumnya adalah Kepala Kantor Berita Antara Dili. Pengalaman selama bertugas di Dili mendorong Peter menulis buku soal integrasi yang belum tuntas. Pembedah buku karya jurnalis senior asal Larantuka, Flores Timur itu juga bukan sembarang orang.
Salah satunya, Mgr Belo dan mantan Komandan Komando Resor Militer (Korem) Wira Dharma Dili, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dengan moderator (kalau tak salah) Rosiana Silalahi. “Saya beruntung karena seumur hidup saya baru kali ini bertemu Bapa Uskup,” kata saya sembari menyalami Mgr Belo.
“Engko dari Larantuka, Adonara, Solor atau Lembata?” tanya Mgr Belo di sela-sela rehat. “Saya dari Lembata, Bapa Uskup. Sempat kuliah di Kupang, KKN di Atanbua. Sempat pula ke Dili lalu merayakan Paskah di Suai tahun 1997,” kata saya. “Di Jakarta aktif di kantor mana?” tanya Mgr Belo. “Jurnalistik,” jawab saya singkat. “Jalani profesi itu dengan penuh syukur mengabdi publik,” katanya. Lalu, “terima kasih.” Mohon doa Bapa Uskup,” meluncur dari mulut saya sambil menyalaminya. Entah ke mana Uskup bergerak, tentu Peter Tukan lebih tahu. Karena beliau yang undang.
Ingatan dan pengalaman itu selalu membekas dalam batok kepala saya. Uskup yang lahir 3 Februari 1948 di Wailacama, Baucau, Timor Leste, itu hari ini merayakan ulang tahun. Selamat Ulang Tahun, Bapa Uskup Belo. Semoga sehat selalu dan penuh berkat Tuhan. Obrigado. (Asesu Youtube/Facebook https://www.facebook.com/Media1Timor Media ONE Timor)
Discussion about this post