HAMPIR 20 tahun pemerintah Indonesia meninggalkan Timor Timur. Ini setelah Timor Timur diporak-porandakan militer Indonesia. Tepatnya seusai jajak pendapat 1999. Pemerintah Indonesia melalui militer Indonesia memulai pendudukannya atas Timor Timur pada 1975.
Kisah dunia yang tak terlupakan sebagai langkah awal pendudukan Indonesia atas wilayah itu adalah terbunuhnya lima jurnalis Australia di Balibo. Iniah pintu masuk wilayah Timor bagian barat yang lebih dikenal dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) ke wilayah Timor bagian timur yang lebih dikenal dengan Timor Timur. Daerah ini belakangan menjadi salah satu propinsi dari wilayah Indonesia.
Bila terhitung sejak 1975 hingga hasil jajak pendapat 1999 yang memenangkan pihak pro kemerdekaan Timor Timur, Indonesia menduduki Timor Timur selama 24 tahun. Ditambah 18 tahun Indonesia meninggalkan Timor Timur yang saat ini dikenal dengan Timor Leste sebagai sebuah negara berdaulat di dunia, berarti sudah 42 tahun para jurnalis Australia terbunuh di Balibo. Inilah wilayah Timor Leste di Distrik Bobonaro yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Belu, wilyah Indonesia di Propinsi NTT.
Balibo sangat tersohor di dunia di zaman itu hingga saat ini. Sebab, kota kecil ini diduga kuat sebagai tempat eksekusi militer Indonesia atas lima jurnalis Australia. Padahal, keberadaan mereka di sana untuk meliput langsung pendudukan Indonesia atas Timor Timur.
Beberapa rumah di sini terlihat terbengkalai. Ternyata menyimpan sejarah dunia penting bagi masyarakat Timor Leste pada umumnya dan Distrik Bobonaro pada khususnya. Rumah-rumah itu diduga kuat sebagai tempat eksekusi militer Indonesia atas lima jurnalis Australia tadi. Ke-5 jurnalis itu adalah Garry Cunningam, Greg Shackleton, Brian Peters, Tony Stewart dan Malcolm Rennie.
Oleh warga Balibo terutama kaum muda, tempat eksekusi lima jurnalis itu sejak 2003 dijadikan Pusat Belajar Komunitas Balibo.
Berikut kisah lengkapnya yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR) edisi Rabu 8 Nopember 2017.
Pada 1975, lima jurnalis Australia datang ke sini untuk meliput langsung pendudukan Indonesia atas Timor Timur. Tetapi, sebelum memasuki Dili sebagai pusat kota, mereka ditembak mati. Dunia yakin, mereka sengaja ditargetkan dan dibunuh. Dunia juga tahu, hingga saat ini tidak ada yang dituntut atas kematian mereka.
Pada 42 tahun kemudian, warga sekitar menggelar acara untuk mengenang kelima jurnalis itu. Acara yang digelar mulai dari turnamen sepak bola hingga konser.
“Bagi saya ini sangat menyedihkan dan mengganggu. Bukan hanya karena mereka adalah orang Australia, yang sebenarnya adalah orang Australia, Selandia Baru dan Inggris. Tapi juga fakta bahwa di sinilah tempat di mana invasi Indonesia dimulai setelah mereka melewati perbatasan,” kata seorang warga Australia.
Setelah invasi berdarah 1975, Timor Timur berada di bawah pendudukan Indonesia sampai 1999. Amnesty International memperkirakan selama pendudukan itu sekira 200 ribu orang Timor, hampir sepertiga dari populasi, meninggal karena kelaparan dan kekerasan.
Beatiz Silva Santos, 44 tahun, mengatakan peristiwa pendudukan dan kematian lima jurnalis asing itu tidak pernah dilupakan di sini. “Saat itu saya masih kecil. Saya tidak melihat langsung saat mereka dibunuh. Tapi tetap penting bagi saya untuk mengingat peristiwa itu meski saya mengetahuinya dari orang lain,” tutur Beatiz.
Lima jurnalis yang tewas di Balibo saat itu adalah Garry Cunningam, Greg Shackleton, Brian Peters, Tony Stewart dan Malcolm Rennie. Pada tahun 1975, mereka melukis bendera Australia di dinding bangunan tempat mereka tinggal. Mereka berharap ini bisa memberi perlindungan dari kebrutalan militer Indonesia. Tapi harapan mereka tidak terwujud.
Pada tahun 2003, bangunan itu dijadikan Pusat Belajar Komunitas Balibo, yang didirikan untuk menghormati para jurnalis. Koordinatornya adalah Alipe dos Santos. Dia berjalan pincang. Ini setelah kakinya tertembak militer Indonesia saat aksi demonstrasi di Dili menuntut kemerdekaan Timor Timur atas Indonesia.
“Sebagai pejuang perlawanan, saya ingin mendedikasikan hidup saya untuk mendukung museum dan kenangan akan lima jurnalis yang terbunuh di sini. Saya menganggap mereka sebagai bagian dari Timor karena mereka mendedikasikan hidup mereka untuk kemerdekaan Timor Leste,” kata Alipe dos Santos, Koordinator Pusat Belajar Komunitas Balibo.
Di gedung itu juga berkantor Balibo House Trust yang mendukung masyarakat dengan menyediakan berbagai fasilitas dan program seperti dokter gigi, pendidikan dan pelatihan mekanika.
Raimundo Oki, salah satu dari sedikit jurnalis investigatif di Timor Leste, terinspirasi dengan kisah lima jurnalis itu.
“Sebagai jurnalis Timor Leste kita harus berani. Karena Timor Leste adalah negara yang sangat baru, sebuah negara kecil dengan populasi kecil. Tapi kita memiliki sumber daya alam. Kita harus berani seperti lima jurnalis itu, berani untuk melawan musuh sejati rakyat seperti korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan di pemerintahan,” ujar Raimundo.
Demokrasi di Timor Leste masih baru dan hanya sedikit jurnalis yang berani atau cukup terampil untuk menceritakan kisah yang menantang.
Virgilho Guterres dari Dewan Pers Timor Leste mengatakan kisah lima jurnalis di Balibo itu menjadi inspirasi bagi generasi baru jurnalis. “Yang perlu kita pelajari dari mereka adalah semangat pengorbanan. Meski mereka berasal dari negara asing, mereka mencintai profesinya. Kita perlu belajar dari mereka tentang itu,” jelas Virgilho. (*)
Discussion about this post