MEDIAONETIMOR– Kareta Mini Pajero Mean ho numeru polisia 21-215 TLS ne’ebé lori hosi Eng. Mário Viegas Carascalão mai hosi area Igreja St. Antonio Motael to’o iha estrada besik portaun Ponte Kais Dili, iha jardim 5 de Maiu nian oin derepente soke besi ring eletrisidade iha trotoar leten hakotu ís hodi fila hikas ba Aman Maromak nia Kadunan Santu.
Tuir informasaun ne’ebé rekolla hosi jornalista Media ONE Timor hateten, iha Sesta, (19/5/2017) maizu menus tuku 11.00 ÓTL, kareta ne’ebé lori mesak hosi Matebian Mário Carascalão ne’e antis soke besi, soke uluk motor mutin marka mega pro ho numeru polisia E-9394.
Hosi kareta soke ring eletrisidade ne’e funsionariu iha Ponte kais rona tarutu mak’as. Sira hotu-hotu halai sai mai hare. Komunidade hela besik estrada ne’e, hotu-hotu mai hobur kareta ne’ebé soke ríng eletrisidade. Haré Mário Carascalão maka iha kareta laran.
Sira hamutuk hasai Mário Carascalão hosi kareta hodi lori halai lalais ba Hospital Nasional Guido Valadares (HNGV). Sasin balun seluk hateten bainhira hasai hosi kareta laran, sira haré ran sai maka’as.
To’o HNGV lakleur deit rona dehan doutor sira lakonsege salva. “Mário Carascalão hakotu ona nia ís no fila hikas ona ba Aman Maromak,” hateten ida hosi sira ne’ebé hamrik iha HNGV nia odamatan. Dezastre ne’e hafanu hotu-hotu hodi hato’o sentidu kondelensia liu hosi situs sosiais.
Hó nune’e Matebian Mário Carascalão mate ho idade tinan 80 liu loron 7. Hanesan hotu-hotu hatene antis ne’e Matebian Mårio Viegas Carascalão ba halo operasaun iha Hospital Singapura no rekopera hodi fila-fali mai Timor-Leste halo nia aktividade hanesan bain-bain. Maske iha situasaun moras maibé nia sempre atende jornalista sira ne’ebé hakarak atu halo intervista ho nia.
Iha loron 13 Maiu 2017 iha Selebrasaun loron Nosa Senhora de Fatima, simu medalla hosi Prezidente Repúblika, Taur Matan Ruak tanba nu’udar kazal ne’ebé harmonia no kleur. No iha loron 17 Maiu 2017 simu kondekorasaun hosi Prezidente Repúblika, Taur Matan Ruak. Remata simu kondekorasaun ne’e, Mário Carascalão husik hela lia fuan ikus hodi husu ba ukun nain sira para ukun hó hadok a’an hosi korupsaun no lei ida ne’ebé tenki implementa, tenki refleta ba situasaun rai laran nomos ba labele lei iha suratahan leten ne’e.
Antes ne’e iha Loron Kinta, (18/05/2017) nia sei fó hela intervista ba Diariu Timor Post sobre Jornalista Raimundo Oki no Eis Diretor Timor Post, Lourenço Vicente Martins ne’ebé Primeiru Ministru, Rui Maria de Araújo lori ba tribunal tanba sira nia produtu públikasaun notisia.
In Memoria
Mário Viegas Carasclão moris iha Uai-Talibú, Venilale, Baucau, Timor Portugis, iha loron 12 Maiu 1937. Hafoin remata Ensino Baziku iha Dili. Nia ba hasai Engeneira (Eng.) iha Portugal. Fila hosi ne’eba nia harí Partidu UDT.
Iha tempu okupasaun Indonezia nia simu kargu Guvernador Timor-Timur hosi Guilherme Maria Gonçalves hahu hosi, 18 Setembru 1983 to’o 18 Setembru 1992 iha tempu rezime Soeharto no intrega fila-fali ba Abílio José Osório Soares.
Sai Embaxador Indonezia ba Rumania iha tinan 1993 to’o tinan 1997. Membru Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Repúblika Indonezia tinan 1998 to’o 1999. Mário Viegas Carrascalão nu’udar ema politikus. Iha tinan 1999 sai asesor politika ba Prezidente BJ Habibie, Indonezia.
No hafoin ukun a’an sai Vice Primeiru Ministru Timor-Leste iha tempu Primeiru Ministru Xanana Gusmão. Hafoin iha mudansa tempu PM Xanana Gusmão, Mário Carascalão sai Vice PM II iha 5 Marsu 2009. Harí no sai mós Prezidente ba Partidu Sosial Demokratika (PSD) iha tempu ukun a’an. Obrigadu ba domin no sakrifisiu ba rai doben Timor-Leste. Maske ba ona mundu seluk maibe nafatin akompaña Timor-Leste.(Reportájem João Bernardino)
Atu sai hanesan inspirasaun no refrelesaun ba Timor-Leste nia restaurasaun Independensia ba dala 15 no Timor-oan nia dezemvolvimentu maka Mário Caralão ne’ebé hakotu ís iha kedas loron restaurasaun ne’e lakonsege halo intervista spesial maibe ami hatun intervista ne’ebé fó sai iha situs sosais balun hanesan tuir mai ne’e;
Mario Viegas Carrascalao: “Saya Bukan Pengkhianat”
–——3 April 2009
MARIO Viegas Carrascalao adalah “manusia segala zaman” bagi bumi Loro Sa’e. Dia menjadi saksi hidup sejarah zig-zag negeri kecilnya yang dulu bernama Timor Timur itu\dijajah dan ditinggalkan kolonialis Portugis secara tak bertanggung-jawab, tercebur dalam perang saudara yang berdarah, bergabung dengan Indonesia, serta akhirnya merdeka menjadi negeri mandiri. Tak hanya saksi. Mario juga mengambil peran, hampir di semua era itu, dan terus bertahan.
Lahir di Baucau 64 tahun silam, karir politik Mario memang penuh tikungan tajam. Ketika kolonialis Portugis menarik jemarinya dari pulau itu pada 1974, Mario adalah salah satu pimpinan partai Uniao Democratica Timorense (UDT), yang berseteru dengan Fretilin berhaluan kiri. Belakangan, terdesak secara militer, bersama pimpinan partai lain, Apodeti, dia menandatangani “Deklarasi Balibo” yang kontroversial: deklarasi integrasi Timor Timur dengan Indonesia.
Orang kemudian lebih mengenalnya sebagai Gubernur Timor Timur (1982-1992) setelah dua tahun sebelumnya sempat menjadi Wakil Tetap Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai gubernur, Mario berhasil membujuk penguasa Jakarta agar menjadikan Timor Timur kawasan terbuka (1989), setelah selama bertahun-tahun sekadar menjadi wilayah darurat militer.
Bermukim di kawasan elite Pondokindah, Jakarta, keluarga Mario bahkan telah menjadi bagian dari dunia selebriti Indonesia\tempat seseorang bisa menjadi model, artis, dan bintang sinteron hanya bermodalkan wajah indo. Putra dan putri Mario dari perkawinannya dengan Maria Helena Stoffel Cidrak masuk dalam lingkaran “the rich, beautiful, and famous” itu.
Dan zaman berubah. Mario menjadi Duta Besar RI untuk Rumania (1993-97) ketika rezim Soeharto runtuh. Dia melihat prospek perubahan lebih dramatis lagi di Timor Timur ketika pemerintahan B.J. Habibie membuka peluang untuk referendum bagi kawasan itu\suatu hal yang memang dituntut oleh masyarakat internasional (PBB tak pernah mengakui klaim Indonesia terhadap Timor Timur). Dalam posisinya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung, Mario mendukung referendum dan membuat dirinya menjadi sasaran amarah kelompok prointegrasi. Mario dan keluarga mengungsi ke Lisabon, Portugal, tempat dia menyelesaikan kuliahnya dulu di Universidade Tecnica (1968) dan sempat menjadi penjaga gawang Benfica, klub sepak bola ternama kota itu.
Setelah referendum yang dimenangi kelompok prokemerdekaan, Mario kembali ke Timor Timur. Menjadikannya simbol rekonsiliasi, Xanana Gusmao bahkan mengangkatnya menjadi Wakil Presiden CNRT (Dewan Perlawanan Rakyat Timor Timur). “Saya adalah penumpang kapal Timor Timur dengan tiket yang sah,” katanya.
Dan “langkah kuda” Mario masih berlanjut. Dia mendirikan Partido Social Democrata (PSD), partai berhaluan moderat, pada September 2000. Meskipun PSD hanya memperoleh tujuh kursi dalam pemilihan umum pertama Loro Sa’e Agustus lalu, Mario tetap optimistis.
Dia juga tak takut untuk tetap bersuara lantang, meskipun harus menerima risiko ancaman tentara Indonesia, milisi prointegrasi, bahkan dibenci Fretilin. Diwawancarai oleh Setiyardi dari TEMPO dua pekan lalu di Kantor PSD yang sederhana di Dili, Mario senantiasa menggunakan nama Timor Timur, bukan Loro Sa’e. “Ini hanya kebiasaan,” katanya. Tidak takut disebut pengkhianat? “Saya bukan pengkhianat. Saya orang Tim-Tim,” tuturnya.
Itulah Mario Viegas Carrascalao, yang kini hidup mengandalkan uang pensiunan Kepala Kantor Perkebunan dan Kehutanan\besarnya 179 ribu escudo per bulan\dari pemerintah Portugal. “Saya bukan orang kaya, tapi saya tidak punya utang satu sen pun,” katanya. Berikut adalah petikan wawancara itu.
Bagaimana sikap Anda terhadap hasil pemilu?
Sejak awal, saya sudah tahu Fretilin akan menang. Soalnya, selama 24 tahun, Fretilin telah “mencuri start” melakukan kampanye. Selama ini, rakyat cuma tahu bahwa yang berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur adalah Fretilin. Tapi saya berani memastikan bahwa, dalam pemilu berikutnya, Fretilin tak akan lagi memperoleh mayoritas suara. Saat itulah PSD akan mengambil alih peran Fretilin.
Bagaimana dampak kemenangan Fretilin bagi Timor Loro Sa’e?
Saya berani mengatakan bahwa kemenangan Fretilin ini akan merugikan Timor Loro Sa’e. Fretilin dikenal sebagai partai kiri yang berhaluan keras. Hal itu bisa menurunkan kepercayaan internasional. Saya jamin, bantuan keuangan internasional akan menurun gara-gara kemenangan Fretilin itu.
Tapi, bukankah ini hasil dari sebuah pemilu demokratis yang dipantau oleh dunia internasional?
Ada banyak laporan bahwa Fretilin banyak melakukan kecurangan untuk merebut suara dalam pemilu kali ini. Saya merasa ada skenario yang dijalankan oleh pihak UNTAET (pemerintahan sementara bentukan PBB). Barangkali mereka khawatir akan terjadi kerusuhan bila Fretilin tak memenangi pemilu.Tapi, sudahlah, saya juga sadar bahwa pemilu kali ini memang harus dimenangi Fretilin.
Itu tuduhan serius….
Tentu saja tidak. Saya sudah lama melihat tanda-tandanya. Dalam setiap pertemuan penting, Ketua UNTAET Sergio Vieira de Mello selalu melibatkan Sekjen Partai Fretilin, Mari Alkatiri. Sebetulnya langkah itu tidak etis. Soalnya, pimpinan partai-partai yang lain tidak pernah dilibatkan.
Dengan perolehan suara kecil, apa yang dilakukan PSD?
Tentu saja kami akan menjadi oposisi yang kritis. Kami akan berjuang agar nilai-nilai yang moderat bisa diadopsi dalam Dewan Konstituante.
Mengapa PSD tak melakukan aliansi dengan partai-partai lain di luar Fretilin?
Untuk apa? Meskipun 15 partai politik yang ada di Timor Loro Sa’e beraliansi, tak akan menyaingi perolehan suara Fretilin. Jadi, itu tidak perlu dilakukan.
Bukankah PSD dan Fretilin sama-sama menginginkan sistem pemerintahan yang semipresidensial (ada presiden dan perdana menteri)?
Ya, tapi tetap ada perbedaan yang mendasar. Dalam sistem semipresidensial yang kami tawarkan, kekuasaan presiden dalam pemerintahan tetap besar. Kami menginginkan posisi presiden yang kuat untuk memerintah negeri yang baru merdeka ini. Jadi, perdana menteri tak lebih seperti menteri senior yang membantu tugas presiden sehari-hari. Sedangkan Fretilin justru menginginkan posisi presiden yang lemah. Bagi Fretilin, presiden cukup mendapat kekuasaan di bidang hankam dan hubungan luar negeri saja. Jadi, presiden hanya menjadi kepala negara. Sedangkan semua kekuasaan eksekutif akan mereka ambil seluruhnya. Fretilin memang serakah. Ini menyedihkan.
Mengapa Fretilin melakukan itu?
Sejak tahun 1980-an, hubungan Xanana dengan Fretilin telah retak. Lalu, Xanana menyatakan dirinya keluar dari Fretilin dan membentuk sekaligus menjadi Presiden CNRT (Conselho Nacional Resistencia Timorense). Saya tahu, maksud Xanana adalah agar dirinya menjadi netral untuk memimpin semua kekuatan yang ada di Timor Timur. Tapi beberapa kalangan di Fretilin tak mau menerima kenyataan itu dan mulai melakukan beberapa tindakan kasar untuk menyingkirkan Xanana.
Bukankah hal seperti itu biasa terjadi dalam politik?
Ya, tapi mereka tidak bersikap kesatria. Selama kampanye Fretilin, mereka masih membawa-bawa foto Xanana dalam ukuran besar, seolah-olah Xanana adalah calon pemimpin bagi Timor Loro Sa’e versi Fretilin. Padahal rakyat tidak tahu-menahu bahwa akan ada proses politik dalam sidang Dewan Konstituante yang bisa menyingkirkan Xanana secara halus.
Jadi, semua itu dilakukan Fretilin untuk mengebiri kekuasaan Xanana bila menjadi presiden?
Memang demikian.
Bagaimana cerita “integrasi” Tim-Tim ke Indonesia?
Deklarasi Balibo, yang menjadi acuan integrasi Tim-Tim ke Indonesia, sebenarnya dibuat di Bali. Saat itu, UDT dan Apodeti memilih ikut Indonesia, sedangkan Fretilin menginginkan kemerdekaan. Saya adalah salah satu pimpinan UDT. Bagi saya, dengan pendapatan per kapita US$ 40 per tahun, tak mungkin Tim-Tim berdiri sendiri.
Bagaimana keadaan Tim-Tim ketika itu?
Saat itu, tahun 1975, terjadi pertempuran bersenjata antara partai-partai politik yang ada. Fretilin memiliki senjata yang jauh lebih banyak, sekitar 5.000 pucuk senjata jenis G3 (standar NATO) bekas tentara Portugis. Sedangkan partai saya cuma punya sekitar 500 pucuk senjata, bekas polisi.
Mengapa UDT dan Apodeti mau bergabung dengan Indonesia?
Saat itu kondisi kami payah. Kami terdesak hingga ke perbatasan Indonesia. Kami tentu saja menerima tawaran bantuan yang diberikan oleh tentara Indonesia.
Berapa anggaran pemerintah pusat Indonesia untuk Tim-Tim?
Saat awal jadi gubernur (1982), Tim-Tim mendapat sekitar Rp 15 miliar per tahun. Sedangkan untuk kebutuhan operasional rutin, seperti membayar pegawai, sekitar Rp 30 miliar per tahun. Tapi, karena sudah sangat lama, saya tidak ingat persis angkanya.
Uang pembangunan sebanyak itu tentu mengundang untuk dikorupsi?
Tentu saja. Sebelum saya jadi gubernur, diberlakukan sistem pimpinan proyek (pimpro) tunggal. Pimpro adalah pejabat yang berwenang membagi-bagikan proyek ke perusahaan-perusahaan. Nah, waktu saya jadi gubernur, itu saya pecah menjadi beberapa pimpro agar orang tak bisa mengorupsi seenaknya. Tapi korupsi tetap saja terjadi. Saya pernah mengobrol dengan seorang pengusaha yang tak pernah dapat proyek tapi sangat kaya-raya. Akhirnya, dia bercerita bahwa perusahaannya selalu digunakan sebagai pembanding tender tapi direkayasa agar proposalnya lebih jelek dan lebih mahal. Nah, perusahaan “saingannya” yang pasti menang, dan dia selalu diberi uang jasa yang besar.
Apa usaha Anda untuk menanggulangi hal itu?
Agar hal itu tidak terlalu merajalela di Tim-Tim, saya menghadap Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam (almarhum). Saya minta agar, sebagai gubernur, saya diberi wewenang membagi-bagikan proyek.
Lalu, proyek apa saja yang didapat oleh orang-orang Tim-Tim?
Sebetulnya bukan proyek besar, seperti proyek perbaikan bangunan senilai Rp 10 juta, proyek pembuatan pagar senilai Rp 20 juta. Yang penting, orang Tim-Tim masih mendapat uang dari pekerjaan-pekerjaan di daerahnya, agar tidak memicu kecemburuan sosial. Sedangkan proyek-proyek besar senilai Rp 500-an juta masih dipegang oleh perusahaan-perusahaan dari Jakarta.
Anda juga membagikan proyek-proyek itu ke keluarga Anda?
Saudara saya memang punya perusahaan yang bernama PT Algarde, bergerak di bidang konstruksi dan perdagangan. Tapi dia tidak pernah mendapat proyek dari saya. Makanya, dia sering mengeluh punya saudara gubernur tapi tidak pernah mendapat proyek. Memang, dia sering mendapat proyek di daerah-daerah.
Bagaimana kondisi Tim-Tim ketika masih menjadi daerah tertutup?
Ketika pertama kali saya menjadi gubernur pada 1982, di Tim-Tim ada Tim Pelaksana Pembangunan Daerah, yang berada di bawah badan intelijen Indonesia, Bais. Jadi, saat itu ada dua “pemerintahan” di Tim-Tim: satu pemerintahan asli di bawah Bais, satu pemerintahan boneka yang saya pimpin.
Apa dampak ketertutupan Tim-Tim?
Banyak kemudahan dari pemerintah pusat untuk Tim-Tim yang justru dimanfaatkan oleh ABRI. Contohnya, pemerintah membebaskan semua barang impor untuk Tim-Tim dari pajak yang lazim. Akhirnya, perwira-perwira ABRI itu memasukkan minuman keras seperti Vodka dan barang lainnya, kemudian menjualnya ke Kupang, bahkan sampai Surabaya. Mereka menjualnya dengan harga normal, seolah-olah telah membayar pajak.
Mengapa bisa terjadi?
ABRI memiliki kekuasaan, mengontrol pelabuhan Dili.
Kabarnya kopi di Tim-Tim juga dikuasai ABRI?
Benar sekali. Yang bisa membeli kopi dari rakyat cuma satu perusahaan, yaitu PT Denok Internasional, yang ternyata milik ABRI. Bahkan keluarga saya, yang tadinya ingin berbisnis kopi, juga tidak boleh membeli kopi dari rakyat. Pokoknya, PT Denok melakukan monopoli atas semua kopi Tim-Tim. Masalahnya, PT Denok menentukan harga semaunya sendiri. Sekitar 1988, biji kopi rakyat mereka beli dengan harga Rp 300 per kg. Tentu saja rakyat sangat dirugikan. Soalnya, harga normal di pasaran internasional bisa mencapai Rp 4.000 per kg.
Mengapa kopi dibeli sangat murah?
PT Denok menganggap para petani kopi itu bukan pemilik, melainkan hanya penggarap perkebunan. PT Denok menganggap kebun kopi itu adalah peninggalan Portugis, sehingga Rp 300 per kg itu dianggap sebagai “harga petik”. Padahal hal itu tidak benar. Sekitar 60 persen dari lahan perkebunan kopi merupakan milik rakyat kecil. Yang juga menyedihkan, PT Denok kemudian memberikan fee kepada pemerintah daerah dan militer setempat. Saya mendapat Rp 2 miliar per tahun. Lalu, saya mengeluarkan SK yang menolak pemberian fee tersebut.
Bagaimana proses menuju Tim-Tim terbuka?
Saya menghadap Menteri Soepardjo Rustam dan memintanya agar membuka Tim-Tim. Sebab, banyak rakyat Tim-Tim yang butuh kerja, sedangkan para investor tidak bisa masuk karena Tim-Tim masih daerah tertutup. Saat itu perjuangan saya tak berhasil.
Lantas, bagaimana Tim-Tim terbuka?
Ketika Rudini menjadi Menteri Dalam Negeri, saya kembali menghadap untuk mengajukan masalah ini. Pak Rudini meminta saya bicara langsung dengan Presiden Soeharto. Setelah saya menghadap Pak Harto dan menceritakan persoalannya, Pak Harto bilang, “Buka saja. Tidak ada masalah, kan?”
Kapan persisnya pembukaan itu?
Tanggal 29 Desember 1989. Saat itu, saya sengaja mengambil cuti dan pergi ke New York. Saya tahu tentara tidak suka kepada saya. Benar saja, pada malam itu sebuah gudang senjata di Dili meledak hebat. Sepanjang malam, Dili mencekam.
Bagaimana reaksi di pemerintahan?
Satu-satunya orang yang mendukung adalah Pak Rudini. Yang lain menentang.
Sebenarnya, apa perbedaan antara sebelum dan sesudah menjadi daerah terbuka?
Sebelumnya, orang Tim-Tim tak bisa keluar dari wilayah Tim-Tim ke wilayah Indonesia lainnya. Begitu juga sebaliknya. Semua mobilitas di Tim-Tim harus seizin ABRI. Saat itu Tim-Tim adalah kamp konsentrasi.
Apakah Anda sering melakukan kontak dengan pasukan Xanana di hutan?
Pada 1983, misalnya, ada semacam “kontak damai” antara ABRI dan Falintil, yang juga melibatkan saya. Pada 28 Mei 1983, saya ber-temu Xanana di hutan Ariana dekat Kabupaten Baucau. Saat itu sekitar 25 pasukan Falintil memberi penghormatan senjata kepada saya. Sebelumnya, pada 12 April 1983, Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani datang ke Tim-Tim. Saya bertemu dengannya di Baucau dan kami bicara empat mata. Beliau bertanya, apakah saya ingin menyelesaikan masalah Tim-Tim lewat perang atau lewat jalan damai. Tentu saja saya menginginkan jalan damai.
Ternyata ada yang menginginkan Tim-Tim tidak damai?
Tak lama berselang, sekitar Agustus 1983, saya mendapat kabar bahwa di Desa Kraras, Kabupaten Viqueque, terjadi pembunuhan penduduk setempat oleh sebuah pasukan. Sekitar 2.000 mayat dikubur di dekat Sungai Luka di Kraras. Sopir traktor yang menggali kuburan massal itu akhirnya dibunuh untuk menghilangkan jejak.
Anda mendapat informasi itu dari mana?
Dari rakyat dan para pastor.
Apakah Anda punya bukti kuat soal pembunuhan-pembunuhan itu?
Saya banyak menerima surat-surat bukti pembunuhan. Saya menyimpannya di tempat yang sangat aman. Suatu saat nanti, akan saya beberkan kepada publik atau pengadilan.
Benarkah Anda menjadi Gubernur Tim-Tim berkat jasa Benny Moerdani?
Ceritanya begini. Suatu saat pada 1982, saya dipanggil Pak Benny ke New York. Dia bilang bahwa saya akan dijadikan Gubenur Tim-Tim. Feeling saya mengatakan, Benny bukanlah penjahat perang bagi Tim-Tim, karena dia adalah militer profesional.
Kini banyak yang menganggap Anda pengkhianat Indonesia.
Saya ini seorang penumpang kapal yang bernama Tim-Tim. Kalau kapal itu didorong ke Portugis, saya ke Portugis. Kalau kapal didorong ke Indonesia, saya ikut ke Indonesia. Bahkan kalau kapal didorong ke Cina, saya pun akan ikut ke Cina. Itu sikap saya, karena saya adalah penumpang yang sah, yang ikut membeli tiket kapal itu. Waktu itu, Ketua DPA Achmad Tirto Sudiro meminta saya membuat pernyataan terbuka bahwa saya loyal pada Indonesia. Saya katakan kepadanya bahwa saya adalah orang Tim-Tim. Kalau Tim-Tim merdeka, saya akan ikut merdeka. Mendengar jawaban saya, dia tersenyum sinis.
Apakah Anda tidak risi disebut pengkhianat?
Saya bukan pengkhianat. Selama jadi gubernur dan jadi warga negara Indonesia, saya tidak pernah melanggar hukum. Bagi saya, yang menjadi pengkhianat bagi negara Indonesia adalah anggota ABRI yang melakukan pembunuhan terhadap rakyat Tim-Tim. Gara-gara mereka, Tim-Tim keluar dari Indonesia.
Ngomong-ngomong, dalam wawancara ini Anda banyak sekali menuding orang. Anda bersedia menanggung akibatnya?
Saya ini orang Timor Timur yang selalu bicara blak-blakan. Dulu, TEMPO pernah mewawancarai saya saat masih jadi Gubernur Tim-Tim. Wawancara itu dimuat dengan judul Orang Tim-Tim Tidak Bahagia. Gara-gara wawancara itu, saya dipanggil oleh Bais dan ditanyai empat perwira intel yang bersenjata. Mereka meminta saya mengatakan bahwa hasil wawancara yang dimuat di TEMPO itu tidak benar. Mereka ingin menyalahkan wartawannya. Saya menolak permintaan mereka. Bahkan saya bilang, “Kalau Bapak-Bapak tidak senang, silakan tembak saya dan mayat saya bisa dibuang ke laut.” Buktinya, saya tetap hidup sampai sekarang.
Apa yang masih menjadi keinginan Anda?
Saya ingin membesarkan Partai Sosial Demokratik (PSD). Sekitar tiga tahun lagi, setelah PSD besar dan kuat, saya akan mengundurkan diri dari politik. Saya ingin hidup tenang saja.(by adit20m)
Ita nia komentariu konaba post ne'e.